Keluarga
santri korban perkosaan Pondok Tahfiz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda
Antapani dan Madani Boarding School Cibiru, Herry Wirawan (36)
menceritakan bagaimana awal mula mengetahui putri mereka mendapat
perlakuan asusila.
Melansir
BBC Indonesia, salah satu keluarga korban bernama Hikmat menceritakan,
terbongkarnya kasus ini bermula saat keponakannya pulang dari pesantren
pada Mei 2021 lalu.
Korban pulang dalam keadaan menggigil dan ketakutan bahkan trauma 4 hari 4 malam menolak makan dan minum.
Saat itu cerita Hikmat, orangtua melihat kondisi badan anaknya bengkak seperti orang hamil. Mereka pun menanyakan perihal itu.
"Ketika
ditanya sama orangtuanya, langsung menangis. Trauma, 4 hari 4 malam,
dia tidak mau makan, tidak mau minum. Takut, [badannya] sampai menggigil
terus".
"Langsung
lah saya buat BAP (Berita Acara Pemeriksaan) ke Polda Jawa Barat, 2
hari setelah lebaran, bersama teman pengacara dari Garut. Yang
melaporkan, ayah keponakan saya yang satu lagi, sama jadi korban juga,
tapi tidak sampai hamil. Dari situ pertama kali kasusnya terungkap.
Kemudian merembet ke korban yang ini, yang ini".
Menurut
Hikmat, awal mula orangtua mengizinkan korban menempuh pendidikan
pondok pesantren karena iming-iming sekolah sambil mesantren gratis.
Penawaran
yang menurut Hikmat, cukup baik dalam kondisi ekonomi keluarga yang
tidak mampu lalu korban juga memiliki potensi dalam ilmu agama atau
mengaji, maka keluarga pun bersyukur dan menerima tawaran itu.
"Keponakan
saya itu, punya potensi di bidang mengaji. Berhubung orangtuanya kurang
mampu, terus diiming-imingi tahfiz Quran yang ada di Cibiru itu,
sekolahnya gratis. [Saat itu] Kami bersyukur ada sekolah dan pesantren
gratis, ya berangkatlah ke sana".
"Apalagi
di Bandung dan sekolahnya pernah ada kunjungan dari Pak Wakil Gubernur
Jawa Barat, Pak Uu. Makanya kita lebih percaya,"tambah Hikmat lagi.
"Tahu-tahunya di tengah perjalanan ada musibah seperti ini, sampai hamil," sesalnya.
Hikmat
melanjutkan, keponakannya mulai sekolah di Yayasan milik Herry Wirawan
sekira tahun 2016-2017. Saat itu, korban masuk di Pondok Tahfiz
Al-Ikhlas kemudian dilanjutkan ke Madani Boarding School Cibiru, masih
di bawah Yayasan milik Herry Wirawan.
Kata
Hikmat, santri yang kecil ditempatkan di Pondok Tahfiz Al-Ikhlas di
Antapani sedangkan yang besar dibawa ke Madani Boarding School di
Cibiru.
"Keponakan
saya lama [mengalami kekerasan seksual]. Dia mulai dirayu-rayu dari
2018. Kejadian [diperkosa] sekitar 2019-2021. Selama setahun itu, dari
lebaran ke lebaran lagi. Pulang kemarin (Mei 2021), ketahuan hamil.
Selama itu, dia tidak bilang ke orangtua. Handphone ditahan tidak boleh
dipakai, jadi tidak bisa komunikasi. Pulang juga cuma setahun sekali"
kisahnya.
Pelaku kata Hikmat, merayu korban dengan cara lembut namun penuh tekanan memposisikan korban harus patuh kepada guru.
"Pelaku
merayu keponakan saya, seolah-olah dia itu merayunya lembut, tapi ada
tekanan-tekanan juga. Dibilang harus patuh kepada guru lah, ini lah, itu
lah, seolah ada pemaksaan," jelas Hikmat.
"Pokoknya
[kelakuan si pelaku] sudah kayak setan. Anak pulang ke sini sampai
menggigil, trauma berat, takut. Tapi kemudian ada pendampingan dari
perlindungan anak dan perempuan dari pemerintah provinsi dan kabupaten,"
lanjutnya lagi.
Hikmat lantas berharap, apa yang terjadi pada keponakannya dan korban lainnya dapat ditindak tegas pemerintah dan aparat hukum.
"Jadi
di wilayah saya ini ada empat korban, semuanya masih ada ikatan
keluarga. Dari 4 korban itu, 3 hamil dan melahirkan, 1 korban tidak
sampai hamil, tapi dia juga diperkosa. Harapan dari keluarga, minimal
hukuman kebiri dan hukuman seumur hidup. Kalau memang perlu hukuman
mati," pinta Hikmat.
Seperti
ramai diberitakan, Herry Wirawan didakwa karena telah melakukan
tindakan asusila atau memperkosa para santri yang usia mereka rata-rata
masih di bawah umur.
Kejaksaan
Tinggi (Kejati) Jawa Barat menyebut guru sekaligus pemilik pondok
pesantren berinisial HW (36) terancam hukuman 20 tahun penjara akibat
perbuatannya yang memerkosa 12 santriwati hingga hamil dan melahirkan.
Plt.
Asisten Pidana Umum Kejati Jawa Barat Riyono mengatakan HW kini
berstatus sebagai terdakwa karena sudah menjalani persidangan. HW
terjerat Pasal 81 UU Perlindungan Anak.
"Ancamannya
15 tahun, tapi perlu digarisbawahi di situ ada pemberatan karena
sebagai tenaga pendidik, jadi ancamannya menjadi 20 tahun," kata Riyono.
Dia
menjelaskan aksi tak terpuji itu diduga sudah HW lakukan sejak tahun
2016. Dalam aksinya tersebut, ada sebanyak 12 orang santriwati yang
menjadi korban yang pada saat itu masih di bawah umur.*
Demikianlah
pokok bahasan Artikel ini yang dapat kami paparkan, Besar harapan kami
Artikel ini dapat bermanfaat untuk kalangan banyak Karena keterbatasan
pengetahuan dan referensi, Penulis menyadari Artikel ini masih jauh dari
sempurna, Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat
diharapkan agar Artikel ini dapat disusun menjadi lebih baik lagi dimasa
yang akan datang
Sumber:bekaci.suara.com